Saturday 11 January 2014

Hati dan Keikhlasan

Memang benar, ikhlas adalah rahsia, rahsia dalam hati setiap insan. Dan ikhlas adalah rahsia dari rahsia yang teramat lembut, sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk mengukur kemurniannya. 

Dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan:

Keikhlasan adalah rahsia yang diambil dari rahsia-rahsia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku Cinta.” (HR. al-Qazwaini)

Hasan al-Banna pernah berkata tentang makna ikhlas,

“Ikhlas adalah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya, amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk mencari redha Allah dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa melihat kepada keuntungan, bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi tentera aqidah dan fikrah dan bukan tentera keinginan atau manfaat.”

Salah satu sebab jauhnya diri kita dari ikhlas ialah sifat ‘ujub, sifat berbangga diri yang berlebihan, dan menganggap orang lain tidak lebih baik dari diri kita. Sifat ini yang sering muncul tanpa kita sedari, yang mampu merobek-robek keikhlasan dalam diri kita. Ia yang mampu menodai kemurnian ikhlas dalam hati dan ia yang mampu mengotori hati dengan lendir-lendir kenistaan.

Tentunya kita tak ingin, keikhlasan yang ada di dalam hati ini, keikhlasan yang selalu kita jaga ini, ternodai dan bahkan terkotori kan?  Dan hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keikhlasan adalah dengan menghapus sifat ‘ujub itu dari dalam hati, membuangnya jauh-jauh tanpa ada yang tersisa. 

Dimulai dengan hal yang kecil dan sederhana, iaitu dengan menganggap  orang lain lebih baik daripada diri kita, anggaplah ia lebih mulia di sisi Allah.

* Jikalau kita melihat seseorang yang lebih muda daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih tua darinya tentu telah banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah. Maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”

* Jikalau kita melihat seseorang yang lebih tua daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih banyak pahalanya, lebih mulia daripada aku di sisi Allah.”

* Apabila kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata, “Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian ilmu yang tidak dikurniakan kepadaku. Ia telah sampai ke martabat yang aku tak sampai kepadanya, dan ia mengetahui pelbagai masalah yang tak aku ketahui, maka bagaimana aku boleh sepertinya sedangkan diriku masih bergelimang dengan dosa dan maksiat?”

* Bila kita melihat orang yang jahil, maka hendaklah kita berkata, “Orang ini jahil lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku berbuat maksiat dengan ilmuku, dengan kesedaranku, maka bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah nanti?”

* Saat kita menyaksikan orang fasik atau ahli maksiat, maka hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya hatinya selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan bersamaan dengan itu ia tetap mengagungkan Tuhannya. 
Terbuka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat dan menyesali perbuatannya, lalu ia melakukan amal soleh yang nilainya lebih tinggi di mata Allah daripada aku. Sedangkan aku sendiri sampai saat ini dan nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatanku itu diterima oleh Allah atau tidak. Dan aku juga tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku esok hari.”

* Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”

Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi pasti dan yakin. Kerana jika kita bertanya, siapakah yang dapat memastikan kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat, lalu kita memperoleh husnul khatimah? Siapa yang boleh tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni oleh Allah? Siapakah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di akhirat? Semua itu adalah rahsia Allah, yang tiada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Bahkan beliau, Rasulullah SAW berkata:

Katakanlah: Aku tidak mengatakan padamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’aam: 50)


Allah hu Robbi ~ 
Astagfirullahal'azimm... 



ya Allah, peliharalah akhlak ku menjadi diantara insan yg 'ikhlas'.... allah... banyak yang perlu diperbaiki.. banyak yang perlu di tampal, ditambah, ditolak... dalam tak sedar kadangkala mazmumah lebih mendahui mahmudah... hakkatnya.... ruang-ruang untuk berubah sentiasa, sentiasa terbuka... cuma kita (aku) yang masih siakannya.. 
sikit-sikit, lama-lama jadi bukit... In Shaa Allah. 

No comments:

Post a Comment